Letusan Krakatau 1883 terjadi di Hindia
Belanda (sekarang Indonesia), yang
bermula pada tanggal 26 Agustus 1883 (dengan gejala pada awal Mei) dan
berpuncak dengan letusan hebat yang meruntuhkan kaldera. Pada tanggal 27 Agustus 1883, dua pertiga bagian Krakatau runtuh dalam sebuah letusan berantai, melenyapkan
sebagian besar pulau di sekelilingnya. Aktivitas seismik tetap berlangsung hingga Februari 1884. Letusan ini
adalah salah satu letusan gunung api paling
mematikan dan paling merusak dalam sejarah, menimbulkan setidaknya 36.417
korban jiwa akibat letusan dan tsunami yang dihasilkannya. Dampak letusan ini
juga bisa dirasakan di seluruh penjuru dunia.
Letusan ini juga memiliki kekuatan yang sangat dahsyat
yaitu sekuat 200 Megaton TNT, 10.000 kali lebih dahsyat daripada ledakan bom
atom Hiroshima pada tahun 1945 yang hanya sekuat 20 Kiloton TNT.
Gelombang tekanan yang dihasilkan oleh letusan kolosal keempat dan
terakhir terpancar keluar dari Krakatau hingga ketinggian 1,086 km/h (675
mph).[5]:248 Letusan tersebut begitu kuat sehingga memecahkan gendang telinga
para pelaut yang sedang berlayar di Selat Sunda dan menyebabkan lonjakan
tekanan lebih dari 2½ inci merkuri (ca 85 hPa) pada alat pengukur tekanan yang
terpasang di Batavia. Gelombang tekanan terpancar dan tercatat oleh barograf di
seluruh dunia, yang tetap terjadi hingga 5 hari setelah letusan. Rekaman barografis
menunjukkan bahwa gelombang kejut dari letusan terakhir bergema ke seluruh
dunia sebanyak 7 kali. Ketinggian kabut asap diperkirakan mencapai 80 km (50
mil). Letusan mulai berkurang setelah itu, dan pada pagi 28 Agustus, Krakatau
terdiam. Letusan kecil, sebagian besarnya mengeluarkan lumpur, tetap berlanjut
hingga Oktober 1883.
Pada tengah hari tanggal 27 Agustus 1883, hujan abu panas turun di
Ketimbang (sekarang Katibung, Lampung). Kurang lebih 1.000 orang tewas akibat
hujan abu ini. Kombinasi aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga
berdampak besar terhadap wilayah di sekitar Krakatau. Tak satupun yang selamat
dari total 3.000 orang penduduk pulau Sebesi, yang jaraknya sekitar 13 km (8.1
mil) dari Krakatau. Aliran piroklastik menewaskan kurang lebih 1.000 orang di
Ketimbang dan di pesisir Sumatera yang berjarak 40 km (25 mil) di sebelah utara
Krakatau. Jumlah korban jiwa yang dicatat oleh pemerintah Hindia Belanda adalah
36.417, namun beberapa sumber menyatakan bahwa jumlah korban jiwa melebihi 120.000.
Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan
guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan
setelah kejadian. Kota Merak, Banten luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota
di sepanjang pantai utara Sumatera hingga 40 km (25 mil) jauhnya ke daratan.
Akibat letusan Krakatau, pulau-pulau di Kepulauan Krakatau hampir seluruhnya
menghilang, kecuali tiga pulau di selatan. Gunung api kerucut Rakata terpisah
di sepanjang tebing vertikal, menyisakan kaldera sedalam 250-metre (820 ft).
Dari dua pulau di utara, hanya pulau berbatu bernama Bootsmansrots yang
tersisa; Poolsche Hoed juga menghilang sepenuhynya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar