sajak

Sabtu, 12 Mei 2012

Tjoet Nja’ Dhien, Masih Diburu Penikmat Sinema Dunia


BILA kita membicarakan mengenai perempuan-perempuan Indonesia yang berjuang demi bangsa, maka akan banyak sekali nama yang muncul di benak kita. Cukup banyak perempuan Indonesia yang berpengaruh dalam perkembangan dan perjalanan bangsa ini. Salah satu nama yang akrab dan mungkin akan sering kita ingat di benak kita adalah tokoh perempuan asal Aceh, Cut Nyak Dhien.


Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien adalah pahlawan perempuan Indonesia yang sempat turun langsung ke medan perang untuk melawan kaum penjajah pada saat itu. Ayahnya, Teuku Nanta Setia, adalah uleebalang di tempat kelahirannya, Aceh Besar, wilayah VI Mukim. Ia dilahirkan pada 1848 dan mempunyai darah keturunan Minangkabau yang diturunkan dari sang ayah.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien tidak membayangkan untuk terjun ke medan perang. Ia justru adalah seorang perempuan yang dididik untuk dapat menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Dari keluarganya, ia mendapatkan pendidikan di bidang agama dan juga diberikan pengetahuan tentang cara melayani suami, mulai dari memasak hingga menjadi ibu rumah tangga yang baik. Di usia 12 tahun, ia pun dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga.
Masa-masa kedamaian yang dialami keluarga Cut Nyak Dhien tidaklah lama. 13 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 26 Maret 1873, penjajah Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Pernyataan perang tersebut ditandai dengan tembakan meriam dari kapal perang Citadel van Antwerpen milik Belanda, kea rah daratan Aceh. Tak ayal, Perang Aceh pun meletus.
Perang Aceh periode pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah. Lewat kedua pemimpin tersebut, rakyat Aceh harus berhadapan dengan tentara Belanda yang saat itu dipimpin oleh Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirimkan kekuatan sebanyak 3.198 prajurit demi menundukkan Aceh.
Saat pasukan Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, mereka berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan langsung membakarnya. Aksi pasukan Belanda tersebut tak ayal membuat Cut Nyak Dhien murka. Namun akhirnya, Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang periode pertama dengan Ibrahim Lamnga, sang suami, bertarung di garis depan. Köhler tewas tertembak pada April 1873.
Tak puas dengan kekalahannya, Belanda pun kembali ke tanah Aceh. Di bawah kendali Jenderal Jan van Swieten, tentara Belanda akhirnya berhasil menduduki tanah kelahiran Cut Nyak Dhien pada 1873 dan merebut Istana Sultan di tahun 1874. Kejadian tersebut memaksa Cut Nyak Dhien dan keluarganya mengungsi, meninggalkan Ibrahim Lamnga di medan pertempuran.
Sayang, dalam sebuah pertempuran di Gle Tarum pada 29 Juni 1878, Ibrahim Lamnga tewas. Mendapat berita tersebut, Cut Nyak Dhien semakin murka dan bersumpah untuk menghabisi tentara Belanda. Bersama Teuku Umar yang melamarnya pada 1880, ia pun langsung terjun untuk memerangi Kaphe Ulanda, sebutan rakyat Aceh saat itu untuk para tentara Belanda.
Kisah perjuangan Cut Nyak Dhien sempat membuat para sineas Indonesia tertarik untuk mengangkatnya ke layar lebar. Dengan durasi sepanjang 150 menit, film yang diarahkan oleh Eros Djarot tersebut tidak menceritakan kisah perjuangan Cut Nyak Dhien sejak awal kehidupannya. Film ini hanya menceritakan di mana ia mulai memerangi Belanda setelah bertemu dengan Teuku Umar.
Film ini juga berhasil menggali lebih dalam, tak hanya mengenai sisi lain dari seorang Cut Nyak Dhien, tetapi juga dari sisi para penjajah Belanda. Eros Djarot berhasil memperlihatkan dilema-dilema yang dihadapi Cut Nyak Dhien sebagai seorang pemimpin dan juga menunjukkan sisi kerasnya yang terus menerus bersikeras untuk terus menghadapi Belanda secara fisik.
Film ini berhasil meraih penghargaan Festival Film Indonesia edisi tahun 1988, di kategori Film Terbaik. Sejumlah bintang yang hadir dalam film ini adalah, Christine Hakim yang berperan sebagai Cut Nyak Dhien, Slamet Rahardjo (Teuku Umar), Piet Burnama (Panglima Laot), dan Rudy Wowor.
Film yang mengambil judul “Tjoet Nja’ Dhien” tersebut sempat didaftarkan ke Academy Awards tahun 1990 untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik, tetapi gagal lolos dalam pencalonan nominasi. Namun, bukan berarti film ini tidak mencetak prestasi di mancanegara. Film yang juga dibintangi oleh Rosihan Anwar tersebut sempat ditayangkan di Festival Film Cannes pada tahun 1989 dan menjadi film Indonesia pertama yang masuk dalam ajang beragensi sekelas Cannes.
Makanya tak heran bila sampai sekarang para penikmat sinema di dunia masih berupaya mencari VCD asli film Tjoet Nja’ Dhien. Padahal, kebanyakan bioskop di kota besar dunia sudah pernah memutar film ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar