Aceh
merupakan sebuah provinsi paling barat di indonesia yang memberikan peran besar
dalam mempertahankan kemerdekaan negara indonesia.Berpuluh puluh tahun aceh
berada dalam situasi konflik yang membuat berbagai sistem mengalami kemunduran
seperti sistem ekonomi dan politik serta pendidikan.konflik berkepanjangan
membuat masyarakat mengalami trauma yang mendalam untuk aktif dalam kancah
politik saat itu.begitu juga wanita yang sering mengalami kekerasaan yang
dilakukan berbagai oknum sehingga berdampak pada perkembangan pola pikir
mereka.Ketika reformasi bergulir pada tahun 1998,moment itu menjadi awal dari
sebuah kebangkitan dari sebuah cengkraman kekuasaan militer yang berusaha masuk
di segala aspek kehidupan bermasyarakat.
Di era
reformasi perempuan mulai bangkit di segala segi kehidupan dengan berbagai isu
yang terus berkembang di kancah dunia.berbicara perempuan Aceh banyak hal
menarik yang akan timbul dalam tulisan ini.Ketika kita mencoba melihat masa
lalu aceh,wanita beberapa kali memegang peranan penting dan kepemimpinan wanita
di aceh merupakan contoh pertama wanita berada di tampuk kekuasaan.
Ketika
Syiah Kuala memberikan fatwa, bahwa wanita boleh menjadi penguasa (Sultanah).
Atas dasar fatwa Ulama Besar tersebut menyebabkan kerajaan Aceh Darussalam
selama hampir 60 tahun diperintah oleh para Ratu wanita (Sultanah)
masing-masing terdiri dari :
1.
Sultanah Tajul Alam Saffiamddin Syah (1641-1675);
2.
Sultanah Nurul Alam Nakiyamddin Syah (1675-1678);
3.
Sultanah Inayat Zahyamddin Syah (1678-1688);
4.
Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).
Rentetan
sejarah telah mengukir wanita dalam perpolitikan sebuah bangsa.Ini membuktikan
bahwa aceh telah lebih dulu menempatkan dan memberikan ruang kepada wanita
untuk ikut dalam perpolitikan ketika itu dan dijadikan acuan oleh negara negara
islam lainnya seperti Pakistan.
Menjadi
tanda tanya besar kenapa sekarang ketika negara sudah memberikan porsi 30 %
untuk wanita tetapi wanita sangat minim dalam kursi dewan legislatif ?
Upaya
affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus
disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundang undangan
telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam
menempatkan calon anggota legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008
tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( pemilu legislatif ) serta UU Nomor 2 /
2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk
memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan
rakyat.
Untuk
melihat bagaimana keterlibatan wanita dalam politik di aceh bisa dilihat dari
jumlah persentase perempuan yang duduk di kursi DPR Aceh dan DPRK Kabupaten /
Kota.Pada Pemilu lalu, perempuan mendapat peluang lebih besar untuk berkiprah
dalam dunia politik, namun hanya sedikit yang terpilih menjadi anggota
parlemen. Terbukti dari 304 jumlah perempuan yang mencalonkan diri
menjadi anggota DPRA, hanya empat orang yang terpilih.
Tiga
orang dari Partai Golongan Karya, yaituNurlelawati dari Daerah Pemilihan
(Dapil) 2, Pidie dan Pidie Jaya, Nuraini Maida dari Dapil 5, Lhokseumawe
dan Aceh Utara, Yuniar dari Dapil 6, Langsa Aceh Tamiang dan Aceh Timur Liswani
dari Dapil 8, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue dari PAN
Artinya,
hanya 6 % persen dari 69 orang anggota DPRA
periode 2009-2014 yang berjenis kelamin perempuan, jauh dari target kelompok
perempuan yang menginginkan 30 persen perempuan di parlemen.
Sungguh
diluar target yang ingin dicapai kaum perempuan !!
Di
beberapa kabupaten / kota ada beberapa perempuan yang masuk ke parlemen seperti
naiknya Pianti Mala Pinem menjadi ketua DPRK Subulussalam periode 2009 – 2014
dan sebelumnya menjadi wakil ketua DPRK kabupaten Aceh Singkil periode 2004 –
2009 saat ia berusia 23 tahun.Sekarang aceh juga telah melahirkan sosok wanita
yang terus dekat dengan rakyat kota banda aceh yaitu Hj Illiza Saad”dudin
Djamal SE yang kini terpilih menjadi wakil bupati Kota Banda aceh untk kedua
kalinya.tapi itu tidak seimbang dengan jumlah wanita di aceh yang begitu besar.
Di Aceh,
pemilihan kepala daerah (pilkada) pun mencatat hanya tujuh kandidat perempuan
yang maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada pilkada Aceh 2012. Jumlah
ini sangat minim (hanya 2 persen) jika dibandingkan jumlah calon kepala daerah
yang terdaftar di KIP Aceh sebanyak 260 orang (130 pasangan) yang dominan
laki-laki. Data yang dirilis Media Center KIP Aceh (2012) mengungkapkan, dari
tujuh calon kepala daerah perempuan tersebut, hanya tiga yang maju sebagai
calon kepala daerah. Yaitu, Dra Yulinar Ahmad sebagai calon Bupati Aceh Utara,
Hj Soraya Hasbi sebagai calon Wali Kota Langsa, dan Sri Wahyuni SHi sebagai
calon Bupati Bener Meriah. Sedangkan empat lainnya maju sebagai calon wakil
kepala daerah di tingkat kabupaten/kota. Yaitu Illiza Sa’aduddin Djamal dan
Lindawati masing-masing sebagai calon Wakil Wali Kota Banda Aceh, Nuraini Maida
sebagai calon Wakil Bupati Aceh Utara, dan Nurhayati Sahali calon Wakil Bupati
Gayo Lues.Meredupnya kemunculan perempuan itu sendiri, juga terletak pada
minimnya kepedulian kaum perempuan untuk mendorong sosok perempuan untuk diberi
kesempatan muncul dalam ranah perpolitikan. Untuk era modern saat ini, yang
menjadi masalah bukan diberi kesempatan atau tidak kaum perempuan oleh kaum
laki-laki untuk tampil di depan publik. Tapi bagaimana sesama kaum perempuan
untuk memberi dukungan bagi sesama kaum perempuan agar mendapatkan posisi
strategis dalam ranah perpolitikan. Kepercayaan mutlak kaum perempuan sebagai
masyarakat dengan dominasi besarnya jumlah penduduk seharusnya dapat menjadi
celah untuk membangkitkan partisipasi perempuan dalam memberi kesempatan bagi
kepemimpinan perempuan dalam perpolitikan dan posisi strategis lainnya.
Melihat minimnya jumlah kursi untuk perempuan di tingkat pusat dan daerah membuat tanda tanya besar.salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pernah melontarkan ungkapan bahwa perempuan aceh mengurus suami saja tidak becus apalagi mengurus partai politik .sangat ironis ketika saat regulasi quota 30 % keterwakilan perempuan telah diberlakukan dalam pemilu.Ada apa dengan perempuan aceh ? atau perempuan yang tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk terjun ke dalam perpolitikan di Aceh.
Mari kita
menjawab dengan sebuah renungan dalam hati kita masing masing
Tidak
adanya wakil perempuan Aceh di DPR RI mendapat komentar dari salah satu utusan
legislatif Aceh yaitu Raihan Iskandar dari partai PKS yang kini duduk di
Komisi X DPR. Pendapatnya, tidak ada keterwakilan perempuan Aceh untuk saat
ini, beliau menyimpulkan beberapa tahun terakhir ini Aceh sedang sibuk berbenah
diri pasca konflik dan bencana gempa tsunami. Untuk duduk di legislatif
tergantung dari suara terbanyak bukan hanya dari kapasitas. “Jadi, tidak
bicara cocok atau tidak cocok, tapi semua sangat tergantung dengan jumlah suara”,
ujarnya.Untuk pemilu yang akan datang, Raihan yakin akan ada keterwakilan
perempuan Aceh di DPR. Sebab, promosi telah dilakukan dari sekarang, apalagi
dengan kondisi yang mulai stabil di Aceh pasca pemilukada. Ia pun menyarankan
agar calon legislatif untuk pemilu 2014, harus bisa pandai mengambil hati
masyarakat.
Lantas
sampai dimana peran partai lokal terutama partai aceh sebagai partai
pemenang Pemilu di Aceh dalam mengusung perempuan untuk duduk di kursi parlemen
daerah !!!
Dengan
jumlah perwakilan yang begitu besar di parlemen daerah ternyata tidak ada
menempatkan seorang pun sosok wanita dalam kursi parlemen.Bagaimana mungkin
aspirasi kaum perempuan yang begitu besar dapat ditampung oleh anggota dewan
perempuan yang hanya berjumlah 4 orang . Pasca-Pemilu
2009, menjadi waktu yang tepat bagi kalangan perempuan untuk melakukan evaluasi
bersama untuk menyusun langkah politik yang mampu menjawab tantangan secara
internal maupun eksternal. Perempuan memiliki persoalan yang sama, yang
terakumulasi dan terimplementasi dalam kehidupannya di ruang publik.
Terhambatnya partisipasi politik yang setara, juga karena dinamika internal
organisasi perempuan yang seakan memang melarutkan diri dan menikmati sogokan
demokrasi. Secara kelompok dan personal, menjadi penting bagi perempuan untuk
kritis terhadap setiap perubahan yang terjadi, sehingga mampu mengartikulasikan
tujuan perjuangan perempuan. \
Berangkat
dari pemahaman di atas, akan memungkinkan gerakan perempuan berkembang dan
menemukan format utuhnya sebagai bagian dari kekuatan sipil yang mengisi
ruang-ruang publik, dengan berbagai model pendekatannya. Dan hal mendasar yang
seharusnya dimiliki oleh organisasi perempuan adalah adanya spirit dan komitmen
perjuangan dalam membela hak-hak kaum marginal, yang harus diaktualisasikan
baik di parlemen maupun di institusi lainnya.
Lima
tahun ke depan, adalah saat yang menentukan bagi kelompok perempuan dalam
menguatkan dan lebih mengartikulasikan kesadaran berpolitiknya. Untuk itu,
pemberdayaan ekonomi menjadi langkah strategis yang harus dilakukan, baik
secara personal maupun kolektif. Menumbuh kembangkan kesadaran
berekonomi, melalui intervensi dan penguasaan program-program pemerintah,
menjadi satu tawaran kecil yang bisa dilakukan – walaupun sedikit naïf, bila
ekonomi Neoliberal, kita jawab dengan cara ini--, tetapi setidaknya tetap harus
dimulai. Keadaan ini harus saling berkelindan antara kelompok perempuan yang
berada di luar dan di dalam kekuasaan, sehingga, memungkinkan terjadinya
komunikasi dan kontrol terhadap program dan kebijakan politik. Adalah perempuan
yang sudah berhasil duduk di Legislatif maupun di Eksekutif mempunyai peranan
penting dalam menjaga keberlangsungan komitmen kerja dan politik yang tentu
saja berpihak kepada kaum perempuan dan kelompok marginal lainnya.
Dengan
diberikannya kesempatan untuk wanita dengan suara kuota sebanyak 30% dalam
legeslatif diharapkan keterwakilan wanita ini dapat mengakomodir
kepentingan-kepentingan yanjg dibutuhkan oleh kaum wanita, karna pada dasarnya
keterwakilan ini merupakan bentuk dari kemajuan bagi perkembangan kesetaraan gender.
Tetapi
sayang dan yang paling disayangkan adalah keterwakilan wanita tersebut belum
maksimal seperti yang diharapkan. hal tersebut mungkin bisa saja akan terjadi
setiap pemilihan legeslatif dikarenakan seorang calon legeslatif yang
wanita kurang dipercayai oleh kalangan wanita itu sendiri. hal ini mungkin
karena kurangnya pemahaman kalangan wanita khususnya dipedalaman, yang
menganggap kwalitas mereka itu kurang bagus di bidang legeslatif. hal ini juga
yang paling utama, yang menyebabkan wanita dari aceh tidak ada yang mewakili
dipusat sebagai legeslatif. jangankan dipusat khususnya wanita dari aceh
didaerah juga sangat minim didapati yang berpartisipasi dibidang politik,
memang sangat miris jika kita memperhatikan hal ini semua, tetapi kita berharap
pemilu legeslatif kedepannya ada keterwakilan wanita ada dipusat serta
wakil-wakil wanita aceh ada di legeslatif daerah-daerah yang dapat mewakili
suara-suara wanita aceh.
Oleh Rahmad Hidayat Munandar