sajak

Minggu, 24 Maret 2013

Perempuan Dalam Perpolitikan di Aceh

Aceh merupakan sebuah provinsi paling barat di indonesia yang memberikan peran besar dalam mempertahankan kemerdekaan negara indonesia.Berpuluh puluh tahun aceh berada dalam situasi konflik yang membuat berbagai sistem mengalami kemunduran seperti sistem ekonomi dan politik serta pendidikan.konflik berkepanjangan membuat masyarakat mengalami trauma yang mendalam untuk aktif dalam kancah politik saat itu.begitu juga wanita yang sering mengalami kekerasaan yang dilakukan berbagai oknum sehingga berdampak pada perkembangan pola pikir mereka.Ketika reformasi bergulir pada tahun 1998,moment itu menjadi awal dari sebuah kebangkitan dari sebuah cengkraman kekuasaan militer yang berusaha masuk di segala aspek kehidupan bermasyarakat.

Di era reformasi perempuan mulai bangkit di segala segi kehidupan dengan berbagai isu yang terus berkembang di kancah dunia.berbicara perempuan Aceh banyak hal menarik yang akan timbul dalam tulisan ini.Ketika kita mencoba melihat masa lalu aceh,wanita beberapa kali memegang peranan penting dan kepemimpinan wanita di aceh merupakan contoh  pertama wanita berada di tampuk kekuasaan. 

Ketika Syiah Kuala memberikan fatwa, bahwa wanita boleh menjadi penguasa (Sultanah). Atas dasar fatwa Ulama Besar tersebut menyebabkan kerajaan Aceh Darussalam selama hampir 60 tahun diperintah oleh para Ratu wanita (Sultanah) masing-masing terdiri dari :
1. Sultanah Tajul Alam Saffiamddin Syah (1641-1675);
2. Sultanah Nurul Alam Nakiyamddin Syah (1675-1678);
3. Sultanah Inayat Zahyamddin Syah (1678-1688);
4. Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).

Rentetan sejarah telah mengukir wanita dalam perpolitikan sebuah bangsa.Ini membuktikan bahwa aceh telah lebih dulu menempatkan dan memberikan ruang kepada wanita untuk ikut dalam perpolitikan ketika itu dan dijadikan acuan oleh negara negara islam lainnya seperti Pakistan.

Menjadi tanda tanya besar kenapa sekarang ketika negara sudah memberikan porsi 30 % untuk wanita tetapi wanita sangat minim dalam kursi dewan legislatif ?
Upaya affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundang undangan telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( pemilu legislatif ) serta UU Nomor 2 / 2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.

Untuk melihat bagaimana keterlibatan wanita dalam politik di aceh bisa dilihat dari jumlah persentase perempuan yang duduk di kursi DPR Aceh dan DPRK Kabupaten / Kota.Pada Pemilu lalu, perempuan mendapat peluang lebih besar untuk berkiprah dalam dunia politik, namun hanya sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen. Terbukti dari 304 jumlah perempuan yang mencalonkan diri menjadi anggota DPRA, hanya empat orang yang  terpilih.
Tiga orang dari Partai Golongan Karya, yaituNurlelawati dari Daerah Pemilihan (Dapil) 2, Pidie dan Pidie Jaya, Nuraini Maida dari Dapil 5, Lhokseumawe dan Aceh Utara, Yuniar dari Dapil 6, Langsa Aceh Tamiang dan Aceh Timur Liswani dari Dapil 8, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue dari PAN

Artinya, hanya 6 % persen dari 69 orang anggota DPRA periode 2009-2014 yang berjenis kelamin perempuan, jauh dari target kelompok perempuan yang menginginkan 30 persen perempuan di parlemen.
Sungguh diluar target yang ingin dicapai kaum perempuan !!
Di beberapa kabupaten / kota ada beberapa perempuan yang masuk ke parlemen seperti naiknya Pianti Mala Pinem menjadi ketua DPRK Subulussalam periode 2009 – 2014 dan sebelumnya menjadi wakil ketua DPRK kabupaten Aceh Singkil periode 2004 – 2009 saat ia berusia 23 tahun.Sekarang aceh juga telah melahirkan sosok wanita yang terus dekat dengan rakyat kota banda aceh yaitu Hj Illiza Saad”dudin Djamal SE yang kini terpilih menjadi wakil bupati Kota Banda aceh untk kedua kalinya.tapi itu tidak seimbang dengan jumlah wanita di aceh yang begitu besar.

Di Aceh, pemilihan kepala daerah (pilkada) pun mencatat hanya tujuh kandidat perempuan yang maju mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada pilkada Aceh 2012. Jumlah ini sangat minim (hanya 2 persen) jika dibandingkan jumlah calon kepala daerah yang terdaftar di KIP Aceh sebanyak 260 orang (130 pasangan) yang dominan laki-laki. Data yang dirilis Media Center KIP Aceh (2012) mengungkapkan, dari tujuh calon kepala daerah perempuan tersebut, hanya tiga yang maju sebagai calon kepala daerah. Yaitu, Dra Yulinar Ahmad sebagai calon Bupati Aceh Utara, Hj Soraya Hasbi sebagai calon Wali Kota Langsa, dan Sri Wahyuni SHi sebagai calon Bupati Bener Meriah. Sedangkan empat lainnya maju sebagai calon wakil kepala daerah di tingkat kabupaten/kota. Yaitu Illiza Sa’aduddin Djamal dan Lindawati masing-masing sebagai calon Wakil Wali Kota Banda Aceh, Nuraini Maida sebagai calon Wakil Bupati Aceh Utara, dan Nurhayati Sahali calon Wakil Bupati Gayo Lues.Meredupnya kemunculan perempuan itu sendiri, juga terletak pada minimnya kepedulian kaum perempuan untuk mendorong sosok perempuan untuk diberi kesempatan muncul dalam ranah perpolitikan. Untuk era modern saat ini, yang menjadi masalah bukan diberi kesempatan atau tidak kaum perempuan oleh kaum laki-laki untuk tampil di depan publik. Tapi bagaimana sesama kaum perempuan untuk memberi dukungan bagi sesama kaum perempuan agar mendapatkan posisi strategis dalam ranah perpolitikan. Kepercayaan mutlak kaum perempuan sebagai masyarakat dengan dominasi besarnya jumlah penduduk seharusnya dapat menjadi celah untuk membangkitkan partisipasi perempuan dalam memberi kesempatan bagi kepemimpinan perempuan dalam perpolitikan dan posisi strategis lainnya.

Melihat minimnya jumlah kursi untuk perempuan di tingkat pusat dan daerah membuat tanda tanya besar.salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pernah melontarkan ungkapan bahwa perempuan aceh mengurus suami saja tidak becus apalagi mengurus partai politik .sangat ironis ketika saat regulasi quota 30 %  keterwakilan perempuan telah diberlakukan dalam pemilu.Ada apa dengan perempuan aceh ? atau perempuan yang tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk terjun ke dalam perpolitikan di Aceh.

Mari kita menjawab dengan sebuah renungan dalam hati kita masing masing

Tidak adanya wakil perempuan Aceh di DPR RI mendapat komentar dari salah satu utusan legislatif Aceh yaitu Raihan Iskandar dari partai PKS  yang kini duduk di Komisi X DPR. Pendapatnya, tidak ada keterwakilan perempuan Aceh untuk saat ini, beliau menyimpulkan beberapa tahun terakhir ini Aceh sedang sibuk berbenah diri pasca konflik dan bencana gempa tsunami. Untuk duduk di legislatif tergantung dari suara terbanyak bukan hanya dari kapasitas. “Jadi, tidak bicara cocok atau tidak cocok, tapi semua sangat tergantung dengan jumlah suara”, ujarnya.Untuk pemilu yang akan datang, Raihan yakin akan ada keterwakilan perempuan Aceh di DPR. Sebab, promosi telah dilakukan dari sekarang, apalagi dengan kondisi yang mulai stabil di Aceh pasca pemilukada. Ia pun menyarankan agar calon legislatif untuk pemilu 2014, harus bisa pandai mengambil hati masyarakat.

Lantas sampai dimana  peran partai lokal terutama partai aceh sebagai partai pemenang Pemilu di Aceh dalam mengusung perempuan untuk duduk di kursi parlemen daerah  !!!

Dengan jumlah perwakilan yang begitu besar di parlemen daerah ternyata tidak ada menempatkan seorang pun sosok wanita dalam kursi parlemen.Bagaimana mungkin aspirasi kaum perempuan yang begitu besar dapat ditampung oleh anggota dewan perempuan yang hanya berjumlah 4 orang . Pasca-Pemilu 2009, menjadi waktu yang tepat bagi kalangan perempuan untuk melakukan evaluasi bersama untuk menyusun langkah politik yang mampu menjawab tantangan secara internal maupun eksternal. Perempuan memiliki persoalan yang sama, yang terakumulasi dan terimplementasi dalam kehidupannya di ruang publik. Terhambatnya partisipasi politik yang setara, juga karena dinamika internal organisasi perempuan yang seakan memang melarutkan diri dan menikmati sogokan demokrasi. Secara kelompok dan personal, menjadi penting bagi perempuan untuk kritis terhadap setiap perubahan yang terjadi, sehingga mampu mengartikulasikan tujuan perjuangan perempuan. \

Berangkat dari pemahaman di atas, akan memungkinkan gerakan perempuan berkembang dan menemukan format utuhnya sebagai bagian dari kekuatan sipil yang mengisi ruang-ruang publik, dengan berbagai model pendekatannya. Dan hal mendasar yang seharusnya dimiliki oleh organisasi perempuan adalah adanya spirit dan komitmen perjuangan dalam membela hak-hak kaum marginal, yang harus diaktualisasikan baik di parlemen maupun di institusi lainnya.

Lima tahun ke depan, adalah saat yang menentukan bagi kelompok perempuan dalam menguatkan dan lebih mengartikulasikan kesadaran berpolitiknya. Untuk itu, pemberdayaan ekonomi menjadi langkah strategis yang harus dilakukan, baik secara personal maupun kolektif.  Menumbuh kembangkan kesadaran berekonomi, melalui intervensi dan penguasaan program-program pemerintah, menjadi satu tawaran kecil yang bisa dilakukan – walaupun sedikit naïf, bila ekonomi Neoliberal, kita jawab dengan cara ini--, tetapi setidaknya tetap harus dimulai. Keadaan ini harus saling berkelindan antara kelompok perempuan yang berada di luar dan di dalam kekuasaan, sehingga, memungkinkan terjadinya komunikasi dan kontrol terhadap program dan kebijakan politik. Adalah perempuan yang sudah berhasil duduk di Legislatif maupun di Eksekutif mempunyai peranan penting dalam menjaga keberlangsungan komitmen kerja dan politik yang tentu saja berpihak kepada kaum perempuan dan kelompok marginal lainnya.
Dengan diberikannya kesempatan untuk wanita dengan suara kuota sebanyak 30% dalam legeslatif diharapkan keterwakilan wanita ini dapat  mengakomodir kepentingan-kepentingan yanjg dibutuhkan oleh kaum wanita, karna pada dasarnya keterwakilan ini merupakan bentuk dari kemajuan bagi perkembangan kesetaraan gender.

Tetapi sayang dan yang paling disayangkan adalah keterwakilan wanita tersebut belum maksimal seperti yang diharapkan. hal tersebut mungkin bisa saja akan terjadi setiap  pemilihan legeslatif dikarenakan seorang calon legeslatif yang wanita kurang dipercayai oleh kalangan wanita itu sendiri. hal ini mungkin karena kurangnya pemahaman kalangan wanita khususnya dipedalaman, yang menganggap kwalitas mereka itu kurang bagus di bidang legeslatif. hal ini juga yang paling utama, yang menyebabkan wanita dari aceh tidak ada yang mewakili dipusat sebagai legeslatif. jangankan dipusat khususnya wanita dari aceh didaerah juga sangat minim didapati yang berpartisipasi dibidang politik, memang sangat miris jika kita memperhatikan hal ini semua, tetapi kita berharap pemilu legeslatif kedepannya ada keterwakilan wanita ada dipusat serta wakil-wakil wanita aceh ada di legeslatif daerah-daerah yang dapat mewakili suara-suara wanita aceh.
                                                                                                        
                                    Oleh Rahmad Hidayat Munandar